Jakarta Dalam Prespektif

Siapa sih orang Indonesia yang gak tau Jakarta. Ibukota negara cuy, titik poin pemerintahan alias pemerintahan Indonesia terpusat di Jakarta. Kalo mau tau Indonesia ya lihat Jakarta aja yang dimana orang dari ujung paling barat sampai ujung paling timur, selatan, utara itu ada di Jakarta. Gak usah ditanya lagi gimana sesak dan crowdednya Jakarta. Dan di #dedinisopini kali ini aku bakalan cerita sebuah daerah bernama Jakarta yang mengubah hampir sebagian besar hidupku dari prespektifku sendiri.

Okay, masa bayi sampe umur 10 tahun aku hidup di Jakarta yang mana orangtuaku adalah pendatang dari daerah yg mencoba peruntungan di Ibukota. Dan ketika umurku 10tahun which is aku kelas 4 SD orangtuaku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Memori tentang masa itu di otakku gak banyak, yang aku ingat paling sering pindah rumah, mulai sekolah diumur 2,5 thn, dan Jakarta pada masa itu belum seperti sekarang, dulu masih banyak tanah kosong walaupun sebagian ditanamin rumah kontrakan, dan sebagainya. Aku termasuk anak2 yang dibatasi pergaulannya sama orangtuaku, dimana pulang sekolah ya pulang, makan, istirahat terus sekolah lagi sorenya (dulu namanya TPA) dan ketemu temennya itu2 lagi karna temen di sekolah pagi dan sore hampir sama. Alhasil aku gak terlalu banyak kenal orang baru, kecuali ada tetangga baru dikontrakan, means masa kecilku di Jakarta lumayan terselamatkan dari pengaruh buruk ibukota pada zaman itu.

Setelah orangtuaku pindah ke kampung, otomatis aku harus move on dari Jakarta. Bisa dibilang masa remajaku juga terselamatkan dari pergaulan ibukota yang cukup hedonis, konsumtif, dan yang lainnya. Karna pergaulan remaja di kampung pada zamanku berbeda hampir 180°dgn kehidupan remaja Jakarta. Ada untungnya juga sih, aku gak tau kehidupan remajaku kalo aku masih hidup di ibukota. Hidupku di kampung lumayan lama, sampai aku menamatkan wajib belajar 12thn. Setelah itu takdir membawaku pulang ke ‘rumah’masa kecilku yaitu Jakarta.

Ya, hampir lima tahun aku hidup di Jakarta sebagai perantau. Disini aku memulai fase hidup baru. Jauh dari orangtua, walaupun disini masih ada Bapak tapi literally emang hidup sendiri, kost sendiri, makan sendiri, kemana2 sendiri. Dari situ aku belajar hidup mandiri gak depend sama orangtua lagi. Jakarta mengubah hidupku, bahkan menuntut aku untuk melakukan perubahan dalam diri, dari yang biasanya kalo mau makan udah ada yg masakin, mau pake baju bersih udah ada yg nyuciin, tidur ada temennya, now I must do those things with my own self.
Jakarta juga mengubah pola pikirku, membuka wawasanku, menguji imanku, menyediakan koneksi pertemanan seluas yg aku mau, memberiku banyak experience, mengajarkanku menyortir bad & good things, semua yg belum aku tau dari hidupku sebelumnya aku dapatkan dari Jakarta.

At least kehidupan di Jakarta memang dinamis, kadang kita ada diposisi up & down. Kalo gak cekatan ambil chance yg ada kita gak bisa survive di posisi Up, intinya hidup di Jakarta harus kerja kalo mau bisa makan. Kalo kata orang ibukota lebih kerjam daripada ibu tiri, aku salah satu orang yg mengaminkan presepsi itu. Jakarta juga bisa menunjukkan mana temen yang sekedar temen dan temen yang bener2 temen. Yap! Seperti kita tau kehidupan Jakarta, kota metropolitan tempatnya manusia2 yg mendambakan kesuksesan, menghalalkan segala cara untuk bisa sukses yang namanya tradisi “Lo lo, Gue gue” udah gak asing lagi, walaupun sebagian besar penduduknya perantau gak menutup kemungkinan buat orang gak peduli sama hidup kita karna tujuan kita sama yaitu survive & succsess. Dibalik iming2 menggiurkan untuk sukses, Jakarta juga penjerumus. Orang yg kurang selektif kadang bisa ‘nyebur’ ke jurang. Jadi kalo mau wangi ya sebisa mungkin temenan sama tukang minyak wangi.

Jakarta ikut andil dalam pembentukan karakter, mental, dan fisikku which is Jakarta mengajarkan aku buat pantang ngeluh, nangis, tahan banting, lebih menghargai apa yg udah aku dapatkan dan empati pada orang lain. Sebagai perantau aku dituntut untuk bisa mengikuti aturan main tanah rantau, artinya kalo kita bisa dan mampu melewati semua challenge dan jebakan batman di tanah rantau yaa kita bisa survive & succsess. Bagiku Jakarta bukan tempat orang yg mau sukses tapi cengeng terus dikit2 ngeluh. Kalo mau hidup enak di Jakarta ya harus extra struggling. Pengusaha yg punya usaha sebesar apapun di Jakarta kalo mau tetep jalan usahanya juga gak bisa cuma ongkang2 kaki, harus ada action & inovation.

Terlepas dari hal negatifnya, Jakarta gak akan pernah kehilangan pesonanya. Tiap tahun orang2 baru berbondong2 datang buat menjajal peruntungan, menggadaikan esensi hidup bahagia di kampung halaman. Kadang terpikirkan olehku, apakah nantinya takdir hidup berkomando aku terus disini atau pulang ke kampung halaman, entahlah yang jelas aku sedang menikmati pahit manisnya hidup di kota dambaan para anak2 kampung. Jika takdir menyuruhku untuk stay lebih lama atau bahkan menetap selamanya di kota ini aku berharap Jakarta tetap friendly terhadapku dan generasi keturunanku kelak tapi jika tenyata takdir menuntunku untuk kembali ke jalan pulang aku harap Jakarta menjadi rimba yang tetap tenang bagi orang2 yg hidup didalamnya.

Aku mencintai Jakarta seperti aku mencintai separuh nafas dalam hidupku, yaitu mama. Karna selain tanah rantau Jakarta juga rumah kedua bagiku untuk melewati kehidupan yang digariskan Tuhan. Mungkin kalo dihidupku gak kenal dgn Jakarta, aku gak akan tau makna bertahan dan sukses dalam hidup. Terimakasih Jakarta…

Tinggalkan komentar